Monday, December 20, 2010

dari tidak percaya kpd smua agama, akhirnya Catherine memeluk agama Islam...Alhamdulillah...

 “Jika kau bertanya padaku pada usia 16 apakah aku ingin menjadi seorang Muslim, aku akan berkata,” Tidak, terima kasih. Agamaku adalah minum-minum, berpesta bersama dengan teman-temanku,” ujar Catherine Heseltine, sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Lahir di London Utara, Catherine tidak pernah mempraktikkan agama apapun di rumahnya. Dibesarkan dalam lingkungan kelas menengah terpelajar, agama bagi keluarga ini dianggap “sedikit kuno dan tidak relevan”.

Hingga suatu hari, guru sekolah  ini bertemu seorang pemuda bernama Syed. Pemuda ini, diakuinya, beza dengan laki-laki yang pernah dikenalnya. “Dia menafikan semua prasangkaku tentang agama. Dia masih muda, Muslim, sangat percaya pada Tuhan – dan dia sangat “normal”, sama seperti lelaki seusianya. Satu-satunya perbezaan adalah bahawa, tidak seperti kebanyakan pemuda Inggris,  dia tidak pernah minum minuman keras.”

Bagi Catherine, perbincangan dengan Syed membuatnya seperti ditampar. Menurutnya, seorang penganut agnotism akan menyedari bahawa menjadi peribadi tanpa agama adalah juga sebuah keyakinan; yakin Tuhan tak ada. “Kalau bagiku, bahkan Tuhan ada  tidak pun, aku tak pernah peduli.”

Setahun kemudian,dia mula mungkir dengan pemikirannya. Sampai akhirnya dalam diam-diam dia menyedari, mulai jatuh hati pada Syed dan Islam. Entah dia jatuh hati lebih dulu pada Islam kemudian baru Syed, atau sebaliknya. Yang jelas, dia yang makin teruja kian rajin membaca buku-buku keislaman.

Apa yang paling menarik perhatiannya dari semua bahan yang dibacanya? “Alquran. Kitab ini sangat  menarik dari sisi  intelektual, sisi emosional, dan spiritual. Aku menyukai  penjelasannya tentang alam semesta dan menemukan bahawa 1.500 tahun yang lalu, Islam telah memberikan hak-hak perempuan yang tak dimiliki di sini, di dunia Barat ini. Aku makin yakin Alquran betul-betul sebuah wahyu.”

Namun, menyatakan keislaman, dia belum sanggup. Baginya, berislam bukan sekadar bersyahadat, atau demi mendapatkan apa yang kita inginkan — dalam konteks Catherine adalah mendapatkan Syed sebagai suaminya. “Agama ini benar-benar hebat. Tapi selama tiga tahun aku menyimpan minat  dalam Islam untuk diriku sendiri,” ujarnya.

Sampai kemudian, timbul keberanian untuk bersyahadat ketika kuliah di tahun pertama. Di tahun yang sama, keraa alasan tak ingin berlama-lama berkasih, dia memutuskan menikah.  Reaksi awal Ibuku adalah, “tidak dapatkah kau hidup bersama saja dengannya tanpa menikah?” Bagi ibu dia agak keberatan,” tambahnya.

Bagi ibunya, rumah tangga Muslim adalah rumah tangga yang menindas isteri. Namun dia sudah bulat tekadnya. “Kini aku sudah lima tahun lebih  menjadi isteri Syed dan ibuku tak menemukanku dirantai di dapur,” ujarnya terbahak-bahak.

Catherine pada awal keislamannya belum sepenuhnya berjilbab. Di acara-acara keagamaan, dia mengenakan jilbab. Namun dalam kesehariannya, dia mengenakan bandana atau topi untuk menutupi rambutnya.

DIa beralasan, sengaja tampil demikian untuk menarik perhatian ketika tengah berada di restoran, pasar, atau dimanapun dia berada di luar rumah. Ketika orang bertanya, maka akan mudah baginya untuk bercerita tentang Islam.

“Sepertiku, aku ingin orang bertahap mengetahui ajaran Islam. Aku juga ingin orang menilaiku  pertama kali dari kecerdasan dan karakterku, bukan agamaku. Ini aku sebut sebagai syiar.” ujarnya.





Thank You For Reading Dear Viewers...Don't Forget To Drop Your Comments And Like..Much Love... -Y@NiE-

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...